Happy Salma yang menggairahkan

Happy Salma lahir di Sukabumi, 4 Januari 1980. Happy dikenal sebagai seorang model, sebelum kemudian melebarkan sayap sebagai aktris sinetron, bintang layar lebar, teater dan presenter TV. Lulusan Universiatas Trisakti Jurusan Administrasi Perusahaan ini pernah membintangi sinetron seperti bujangan, si cecep, kutunggu cintamu, nyonya nyonya sosialita/laba laba cinta, dari lubuk hatiku, cowok-cowok keren, hikayah dan lain-lain. Sebelum kemudian juga membintangi film layar lebar GIE bersama Nicholas Saputra.

Happy juga pernah mendukung pementasan teater berjudul Nyai Ontosoroh di Graha Bhakti Budaya TIM, Jakarta yang disutradarai oleh Ken Zuraida. Selain itu, pengagum sastrawan Pramodya Ananta Toer itu setiap hari masih tetap menjadi presenter Cerita Pagi di Trans TV dan pernah juga membawakan acara Lensa di ANTV.

Hobinya dalam membaca buku, membuat Happy mendapat anugerah sebagai ikon Siti Nurbaya pada awal Juni 2009. Kekasih Tjokorda Bagus ini kembali berakting di layar lebar. Ia bermain di film CAPRES (2009) dan MAU DONK AH (2009). Selain itu ia juga tampil di sinetron stripping, MUALLAF. Menjelang Ramadhan 2009 (21/08/09), Happy harus kehilangan sang ayah tercinta akibat penyakit stroke yang dideritanya.

Beberapa minggu yang lalu saya menemukan foto terbaru Happy Salma. Ia mengenakan baju putih super ketat dengan dada jumbo yang menampar dengan sangat kencang dipadankan dengan celana supermini. Posenya ketika itu sungguh terasa mantap (plaaak (bangun)). Hari itu mengingatkan saya pada peristiwa-peristiwa terdahulu. Tetapi, mengapa harus kembali memikirkan mengenai dada? Dimana kebanyakan orang sering pura-pura malu namun sesungguhnya sangat fanatik terhadapnya.

Semenjak duduk di bangku SMP hingga SMA, saya sering melihat teman-teman yang bermasalah dengan seragam yang mereka kenakan. Terutama bagi murid perempuan yang dilarang memakai seragam yang ketat. Namun, hampir semua murid perempuan di sekolah ketika itu selalu mengenakan seragam super ketat. Sehingga mereka sering menemani saya yang langganan telat di ruang BP (Bimbingan dan Penyuluhan). Saya pernah menanyakan beberapa dari mereka, apakah mereka tidak merasa sesak, dengan helaan nafas mereka menjawab tidak disertai beberapa kancing bagian atas secara tidak sengaja terlepas (woow).

Mulai dari pasar hingga mall sangat mudah menemukan perempuan yang memakai baju ketat yang menonjolkan bentuk buah dadanya. Tidak mengherankan bila teman-teman saya betah lama-lama berdiri di pinggiran tangga sebuah mall dengan tatapan setajam elang pada setiap perempuan yang berseliweran. Kemana fokus penglihatan mereka? Pertama bagian dada lalu wajah diurutan kedua.

Pada suatu siang saya pergi makan bersama teman-teman yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Obrolan pun berjalan santai dan mengasyikan dengan berbagai tema yang tidak jelas arahnya. Hingga saat, seorang perempuan blasteran berdada mengenakan baju dengan kerah berbentuk V dengan belahan melebihi setengah dadanya sendiri. Sontak para lelaki yang berada di dekatnya tak sanggup berkedip meski sedetik. Teman perempuan langsung kembali menyadarkan kami, ”kenapa sih cowok suka ngeliatin yang kaya gituan?”// teman laki-laki menjawab, ”busyet kagak liat apa lu tuh orang pake bajunya kaya gimana, ’itunya’ ngawer-ngawer”// ”tapi kenapa selalu bentuk fisik, toket?” balas yang perempuan.

Lalu, beberapa orang dari kami mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Singkat kata terjadilah perdebatan seputar isu buah dada. Tibalah teman perempuan yang terkenal bijak mengatakan, ”pada dasarnya manusia sejak bayi selalu merindukan kehangatan dada semenjak dia lahir ke dunia.” Sampailah pada saat saya dimintai pendapat soal masalah buah dada ini. “Menurut lu kenapa laki-laki cenderung selalu menatap ke arah dada perempuan?”// saya menjawab, “kalo gue sih karena batas penglihatan gue yang cuma sebatas dada, kan gue gak tinggi-tinggi amat, jadi yang pertama kelihatan mau gak mau ya itu.” Terdengar konyol dan munafik bagi sebagian orang.

Sesungguhnya, buah dada adalah simbol kebanggaan dan aset dari perempuan. Ditambah dengan baju ketat dan belahan menjadikannya penanda yang memiliki makna dan nilai-nilai sosial. Kesemuanya memiliki hubungan dengan apa yang didebut dengan fetishism. Dimana dalam hal ini telah terjadi kolaborasi persinggungan antara commodity fetishism dengan sexual fetishism.

Fetishism diartikan sebagai suatu sifat fanatik terhadap sesuatu hal demi mendapatkan kepuasan. Dimana menurut Piliang, hal tersebut mengadung makna artifisialitas (buatan/palsu). Sesuatu yang dibuat-buat dan memiliki daya pesona meski hal tersebut hanya bersifat sementara. Sementara itu, commodity fetishism mengacu pada situasi dimana suatu benda tidak dianggap sebagai benda guna, tetapi sesuatu yang memberikan kebanggaan tersendiri bagi yang menggunakannya. Sedangakan, sexual fetishism berkaitan dengan fenomena penggunaan objek-objek atau bagain tubuh tertentu untuk menghasilkan kepuasan seksual (Freud. 1987: 351-357).

Lebih lanjut, kaitan antara sexual fetishism dengan buah dada adalah bahwasanya buah dada merupakan objek yang dapat memberikan kepuasan seksual bagi kebanyakan orang. Meski durasi kepuasannya sangat singkat. Sehingga, telah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang untuk memiliki sensifitas kehirauan yang sangat peka bila berada di dekat buah dada. Dalam beberapa hal, ini dapat menjelaskan mengapa mayoritas laki-laki tertarik pada buah dada serta sebagian dari mereka cenderung menatap ke arah buah dada dalam setiap perjumpaanya dengan perempuan.

Hal ini didukung pula dengan kegilaan perempuan untuk mengikuti arus tren dalam berbusana. Dengan mengikuti, membeli, dan memakai merek pakaian ternama tanpa peduli asli atau palsu. Hal ini mengacu pada commodity fetishism. Dimana kebanyakan pakaiaan perempuan keluaran merek ternama cenderung pasti ketat, meski dalam beberapa koleksi adapula yang longgar namun dengan belahan yang ‘sadis’. Keadaan ini seakan tidak memberikan pilihan bagi perempuan demi mempertahankan status sosial yang telah diraih dan diberikan.

Penggunaan pakaiaan yang memperlihatkan lekukan dan belahan dada telah memberikan kepuasan seksual singkat secara gratis bagi sebagian banyak laki-laki. Hal ini juga dapat dilihat sebagai bentuk apresiasi terhadap perempuan yang telah berhasil atau akan mencapai tingkat sosial yang tinggi. Dengan mengenakan pakaiaan yang hanya dianggap sebagai benda sembahan yang fungsinya telah dinisbikan.

Terakhir, keadaan ini telah secara tidak sadar semakin melembaga dengan kuat dan telah berlangsung sejak masa kolonialisme dan akan terus bertahan hingga saat ini. Dimana bentuk kepuasan seksual telah dikonstruksi dan direduksi pada satu objek tertentu. Serta, dilembagakan melalui penanaman kesadaran palsu dalam berpakaiaan. Melalui produksi komoditi dalam sistem kapitalisme.








HOT PALING TERBARU